Rumah tak bertuan.

Mera
6 min readNov 11, 2022

Abu kelabu. Di bawah jumantara, ribuan anak mega jatuh menghujam bentala. Suaranya seperti melodi, seakan menari di tengah jalanan lenggang.

Aku berjalan gontai, sore hari ini gelap, begitupula dengan perasaanku yang berantakan bukan kepalang. Pikiranku kini terlempar jauh ketika aku masih menginjak tangga remaja, lebih tepatnya lima tahun yang lalu.

Aku melanjutkan perjalanan, membelah hujan di tengah angin kencang yang menerpa, meniup tiap-tiap pohon rindang. Benang-benang kusut yang mulai kurajut kembali, mengingatkanku pada segelintir kenangan menyenangkan di masa lampau. Satu-dua kisah yang mulai kuputar, membuatku sejenak melupakan ribuan masalah yang menerjang.

Ini aku Sakanika, kerap kali orang-orang memanggilku dengan sapaan Saka. Si melankolis ujar teman-teman lamaku. Aku sudah lama merantau, jauh dari tempat tinggal asalku, Bandung.

Tinggal sendirian di perantauan membuatku terbiasa mengatasi segala hal sendirian, seperti saat ini. Terkadang jalanku buntu untuk pulang, aku memilih melipir sebentar ke warmindo langgananku, lokasinya tak jauh dari gedung fakultas kampusku.

Aku menutup payung hijau daunku, dan menyapa ramah sang penjual. “Bu, biasa ya,” aku lantas duduk, sambil menikmati segelas teh hangat yang sudah kupesan.

Lamunanku kembali mengambil kendali diri, aku ingat dimana dulu aku pernah mengenal seseorang, seseorang yang membuatku melontarkan sebuah janji, jika nanti setelah lulus SMA, aku akan kembali dan mengunjunginya lagi. Seorang sahabat lama yang manis.

Ah, aku ingat terakhir kali aku melakukan video call dengannya, wajahnya sedikit berubah, matanya sedikit menyayu, sambil bercerita jika ia lelah dengan aktivitas sekolahnya. Ya, kala itu kami masih belia, masih menginjak kelas delapan Sekolah Menengah Pertama.

Dia yang saat itu kepalang jutek, ditambah kesabarannya yang memang setipis helaian tissue, membuat ide jahilku muncul, mengajaknya berbincang lama, sambil menceritakan kisah kami masing-masing setelah satu tahun lamanya tak berjumpa. Dia agaknya sedikit merindukan teman lamanya, mungkin hanya aku satu-satunya teman kecil yang masih menghubunginya. Walaupun kisah kami sebatas kenangan kecil, namun entah kenapa perasaan itu selalu datang disaat aku mulai lagi mengingatnya.

Meski sudah bertahun kami tak pernah bertemu, bertahun pula aku tak pernah mengetahui keberadaanya. Semua akses dengannya terputus begitu saja, entah di mana dan bagaimana ia sekarang.

Mungkin dia kesal karena aku melanggar janjiku untuk pulang, dengan embel-embel reuni hanya berdua. Hah, aku jadi rindu dia.

Aku mengaduk-aduk pesananku asal, aku kehilangan nafsu makan. Lagipula tenagaku tak bisa kembali lagi, hanya dengan semangkuk indomie soto kuah. Memilih untuk membuka Handphone milikku, mengecek grup himpunan, lalu kembali lagi menatap kosong kearah jalanan.

Andai aku punya seseorang yang bisa kuandalkan sebagai tempat untukku berpulang. Saat lelah datang bertubi-tubi, aku terpaksa melewatinya sendiri, bermodal nekat meyakinkan diri, jika aku bisa melewati semuanya, atau paling tidak nasibku mungkin tak jauh akan berakhir di Rumah Sakit Jiwa.

Perlahan menghela napas berat, aku menepis segala pikiran acak yang datang dan pergi.

“Ngelamun aja nih, kak?” seseorang menyapa, membuyarkan keheningan yang sedari tadi datang mendera.

Aku menelisik, mencari sesuatu yang bisa saja kukenali darinya, namun nihil, aku sama sekali tidak mengenali perempuan berambut pendek di depanku ini, tapi hatiku berkata lain, kami seperti tidak asing.

“Kamu adik tingkat saya ya di kampus? Maaf, ada perlu apa?” tanyaku penasaran, aku masih belum berhenti bertanya-tanya. Pasalnya, tidak sopan bukan tiba-tiba berujar seperti itu? Disaat seseorang sedang sibuk dengan lamunannya.

“Lama, gak ketemu lo banyak berubah lho Ka. Gila sih, sampe-sampe lo gak kenal gue. berapa tahun ya kita gak ketemu?” wajahnya yang tengil membuatku jengkel, dia sedari tadi terus-menerus menaik-turunkan alisnya, sambil tertawa mengejek remeh.

“Maaf, tapi bisa tolong jawab gak pertanyaan saya?”

“Sakanika Arthagandara, masa lupa sih, Ka? Gue perkenalan dari awal lagi nih?” aku malas menjawab, hanya mengangguk mengiyakan saja, lagipula aku terlanjur penasaran.

“Oke, hai Saka! Gue Chesa, Artheria Chesa Delia.” aku menepuk dahiku keras, ini bukan halusinasi? Ini betulan dia?

Chesa muncul kebetulan, ketika Saka sibuk mengatur latar dari kisah yang sedari tadi ia ceritakan. Apakah Tuhan mendengarkan suara hatinya? Bagaimana bisa ia bertemu dengan sosok yang sedang ia pikirkam sedari tadi.

Seriously, Ka? Dan sekarang lo malah bengong. Lo beneran lupa sama gue? Astaga, gue temen SD lo anyway.”

Aku hanya memasang raut bodoh, rahangku terjatuh tak percaya.

“Lo beneran Chesa? Sumpah?” tanpa izinnya, aku menepuk-nepuk kedua pipi Chesa pelan, memastikan jika orang didepanku bukan khayalan.

“Iya, SAKAAAA!” geram, ia menyentil dahiku, aku mengaduh sakit lalu setelahnya tertawa pelan.

“Apa kabar? Udah lama gue gak dapet kabar dari lo, sekarang lo masih di Bogor atau udah pindah?” tanyaku bertubi-tubi. Entahlah, bertemu dengan Chesa setelah sekian lama, aku tidak bisa menyusunnya dengan kata-kata, yang pasti aku masih belum percaya.

“Gue di sini. Di jakarta Ka, udah lama. Gue juga kuliah disini, kita kuliah di kampus yang sama. Gue udah langsung ngenalin lo sejak pertama kali kita ga sengaja ketemu di kantin FK, cuma gue ga yakin kalo itu lo.”

“Kapan???” tanyaku terkejut.

“Dua taunan lalu deh, gue sering liat lo tau, seliweran kesana-kemari, anak kura-kura banget. Makanya gue agak sungkan buat negur lu, baru sekarang gue berani negur, hehe,” akunya, sambil terkekeh.

“Lo seriusan, Sa? Gila? Dua tahun dan baru sekarang negur gue? Kebangetan,” rajukku.

“Dih, lagipula lo sibuk, ditambah gue kurang yakin kalo itu lo, gue takut salah orang, tar malu sendiri,” elaknya mencari alasan, betul juga, yang harus ditanyakan adalah kemana saja aku? Sampai-sampai tidak menyadari sama sekali.

“Iya juga sih, tapi kan bisa aja lo sokap. Terus sekarang buktinya lo berani tuh nyapa gue,” Chesa menatapku tajam, ternyata masih sama, dia benar-benar Chesa yang selama ini aku kenal.

“Ya beraninya baru sekarang, lo tuh muka tengilnya masih sama aja ya. Cuma bedanya lebih ganteng, dikit banget,” ujar Chesa, sambil menyatukan ibu jari dengan jari telunjuknya.

Kami tertawa, kutandaskan teh yang tersisa. Aku mengajak Chesa jalan-jalan setelah hujan mulai mereda.

Kini pukul delapan malam, dan kini kami berada diatas atap gedung terbengkalai. Aku mengepulkan asap rokok, sambil duduk bersandar pada kursi yang selalu kududuki ketika berkunjung kemari. Disini, aku menghabiskan sisa kalut yang membuatku bergelut dengan keadaan, aku selalu pulang menjemput malam disini, terbangun di esok hari, dan kembali melangkahkan kaki, melihat dunia dan menjalani jalan kisahku yang memuakkan.

Aku bercerita sedari awal, sedari awal kami berpisah, hingga saat ini kami kembali dipertemukan tak sengaja oleh waktu.

“Wow, lo hebat banget Ka. I feel so sorry to hear that, gue tau susah buat lewatinnya, tapi lo keren Ka,” katanya, sambil menepuk pundakku memberi semangat yang sukar kudapat.

“Lo sendiri, Sa? Gak mau cerita sesuatu sama gue?” tanyaku pelan, tidak enak sebenarnya, tapi dilihat dari raut muka milik Chesa, dia pun sama lelahnya.

“Buat gue, ketemu sama lo itu udah sesuatu yang luar biasa banget, Ka. Tau ga? Selama ini gue selalu nyari lo, bahkan bolak-balik search di segala sosmed, nama-nama lo. Tapi ga pernah nemu, terakhir sehabis kita vidcall. Lo ngilang gitu aja,” ada sedikit jeda dari penuturan Chesa, sebelum kemudian Chesa melanjutkan ceritanya.

“Gue kira lo bakal lupa gue, gue kira lo juga ga bakal sama kaya gue, nyariin gue dan yaa...,” Chesa menggedikkan bahunya. “Kita ketemu disini tenyata, ga sengaja dan ga direncanakan,” lanjutnya.

“Gue harap kita bisa berteman lebih baik lagi kedepannya, makasih lho. Lo udah mau ngajak gue jalan-jalan, walaupun akhirnya malah kesini, ga elit banget ngajak ke gedung kosong, gue takut setan tau. But, thanks. Gue balik duluan, ada banyak cerita yang bisa gue ceritain nanti ke lo, Ka. Tapi ga sekarang, gue cabut dulu ya,” pamit Chesa sambil melambaikan tangannya.

Aku kembali termenung, memikirkan segala perkataan Chesa tadi. Sebegitu berartikah aku dalam jalan kisahnya? Aku perlahan tersenyum, hatiku menghangat, setidaknya sekarang aku punya teman untuk pulang.

Rumah tak bertuan yang selama ini kujadikan tempat tinggal, kini telah beralih, mulai terganti, bersama perasaan kosongku yang mulai terisi.

--

--

Mera
Mera

Written by Mera

Sedikit ruang untuk berbicara.

No responses yet