Kenalkan aku Biru, seorang puan dari tanah merdeka. Kali ini mereka persilakan aku bicara tentang pandang dan larang untuk puan yang entah dari kapan sudah dipatenkan.
Ya! Sempitnya pandangan akan pendidikan untuk puan.
Aku bernarasi disini, untuk kami, puan yang terkadang atensinya kena diskriminasi. Belum lagi, kami selalu dijauhkan dari mimpi-mimpi.
Mari ku ajak berkelana dengan pena, dan berhenti tepat saat aku duduk dengan mereka yang mengatakan, “Merah jambu tak boleh jadi biru!”
Kala itu aku masih berseragam abu, dan tepat sedang berada di ruangan yang ramai dengan sorakan tak terima akan ketimpangan.
“Pada akhirnya wanita tetap ada pada hakikatnya! Emansipasi wanita itu kosong nyatanya, tidak ada artinya. Pendidikan tinggi hanya buat wanita merasa jumawa, tinggi hati!” Sarkasnya.
Pada akhirnya tetap si Tuan yang menghentikan, begitu tajam menghujam. Tiap-tiap dari kami langsung terdiam, tak ada lagi yang berani melawan.
“Jangan terlalu tinggi menggapai mimpi, Nak. Dengar saja apa kata Bapak.” Lebih menyedihkan lagi ketika pernyataan itu divalidasi, oleh puannya sendiri.
Rumah itu seperti namaku, biru ditambah pilu. Lihat! Dalamnya berisi batas tinggi penganut patriarki, bagi-bagi mereka yang mengabdi hanya bisa menundukkan diri.
Merdeka bagi kami, tapi tak cukup ruang untuk kami berekspresi. Terus saja dibatasi oleh pandangan, dan tidak dibiarkan berkembang, lantas apa puan hanya bisa terus bungkam?
Belum berperang tapi suara kami sudah dihabiskan, pendidikan tinggi bagi puan terkadang hanya angan, terombang-ambing di lautan tanpa bisa menggapai tepian. Mereka tak yakin kami pantas untuk berjuang di depan, mereka bilang, puan cukup diam.
Miris, perempuan-perempuan hebat terdahulu berjuang untuk kesetaraan, habis-habisan membela pendidikan untuk kami agar dapat mudah digapai tangan, nyatanya zaman tetap tidak mengubah pandangan.
Untuk puan, bukan tidak ada ruang untuk berjuang, tiap-tiap dari kami bisa terus berlari sampai tujuan, tanpa batasan, tanpa takut akan pandangan. Karena, perempuan hebat berasal dari perempuan kuat yang tak pernah berhenti untuk berjuang menggapai mimpi. Teruslah berteriak lantang, kami Kartini muda tak akan berhenti bersuara, tak akan lagi kami diam terbungkam melihat mimpi kami dikuliti begitu saja.
“Bagi Bapak, Biru harus seperti Ibu. Dulu, Biru juga pikir begitu. Diam di rumah dan hanya diam jika dibodoh-bodohkan. Kali ini, keraguan itu hilang, Biru gak mau diam dibungkam ketimpangan. Maaf jika mengecewakan, pada akhirnya Biru akan tetap berjuang.”