Himalaya.

Mera
3 min readDec 7, 2022

Mulai ku rajut kembali asa, meski takut dan kalut datang berlomba-lomba. Di relung, ku rasakan sakit yang tak terkira pedihnya, luka yang tak kasat mata perlahan menggerogoti pelan jiwa di dalam sana. Saat ku mulai hilang arah, saat ku coba pejamkan mata, kutemui secerca harap yang semu abu.

Ku taruh lagi ikatan tali itu. Memilih bersandar lemah pada dinding dingin yang menyentuh punggungku, aku belum seberani itu untuk mengakhiri segalanya, putus asa membuatku gila.

Ku raih bekas tissue yang berserakan di lantai penuh debu, mulai meringis sakit saat mengingat apa yang baru saja aku lakukan tadi, beralih menatap pergelangan tangan, luka-luka indah. Mendongak, kini ku menatap langit-langit plafon rumah, tergantung sia-sia tali eksekusi, tawaku mengudara, sebegitu hancur kah?

Aku berjalan gontai, menyalakan saklar lampu di setiap ruangan, tempat ini lebih seperti gudang bekas terbengkalai, tidak sempat aku memikirkan tempat untukku pulang dan menetap, tak ada pun harap untuk tetap bertahan di tengah gempuran habis-habisan. Setiap harinya ku berharap mati, menghilang dari pandangan-pandangan orang yang menatapku menjijikkan, tak akan ku sisakan sedikitpun jejak, bahkan namaku sekalipun tak akan kubiarkan.

Aroma kayu lapuk mulai menginvasi indera penciumanku, seperti biasa, aku akan berkunjung ke sini setelah selesai berperang dengan gemuruh amarah yang membuncah.

Banyak potret-potret alasan di balik aku bisa bertahan, sebuah candu yang bisa membuatku pergi lari tunggang lenggang saat mengingatnya lagi. Aku rela melupakan mati, demi datang dan menangis mengadu lelah padanya. Pada benda mati yang ku pajang di tembok kayu yang sudah mulai rapuh termakan usia, dia sudah tua.

“Berapa kali kamu buat aku berhenti?” monologku, aku bersimpuh tak sanggup menatap potretnya yang tersenyum hangat, dia seperti menatapku lamat-lamat, dia selalu menenangkan. Dia buatku selalu berjuang, lagi, dan lagi, meski berkali-kali aku hampir menyerah lagi.

Mengenalnya hanya dengan waktu singkat, kami tak pernah kenal begitu dalam, hanya beberapa kali pertemuan, tapi kehilangannya menggores luka begitu dalam, jiwaku bahkan ikut hilang. Bagaimana tidak? Apa yang ia beri tak akan sanggup diganti oleh lain orang. Memang tidak besar, tidak berbentuk harta pun barang berharga, ia hanya memberiku sebuah udara, sebuah kehidupan dan alasan untuk tetap bertahan dan melihat kembali dunia.

Banyak sisi yang tidak aku ketahui, setiap alasan, setiap rasa dan pengorbanan. Dibalik alasan kepergiannya, dibalik rasa yang ia simpan untukku semata, dan pengorbanan yang ia lakukan, tak lebih hanya untukku tetap hidup dan bertahan.

Kematiannya membuatku menderita, berulang seperti disiksa secara membabi-buta, jiwaku rusak, fisikku juga sama rusaknya. Tapi kenapa aku tidak juga kunjung mati? Ingin sekali ku kembali bertemu dengannya di sana, meski mungkin kami tak akan pernah kembali bersama, si bodoh ini sudah tahu di mana tempatnya, kami tak pernah sebanding untuk saling bersanding menautkan tangan.

Tangisanku pecah, hati terasa diremat begitu kuat. Sakit, sakit, sakit, berulang kali ku lontarkan kata-kata itu. Sungguh tak akan bisa ku habisi rasa takut dan kalut yang selalu datang berulang-ulang.

“Semua yang kamu ucapkan omong kosong, kamu pergi dengan kebohongan. Aku tidak bahagia, tidak akan pernah bahagia, meski kini kamu sudah tiada, aku masih tidak dapat berdamai dengan segalanya. Kamu menorehkan luka begitu dalam, kamu buatku terluka yang sakitnya tak pernah ku kira,” kutatap potretnya tajam, benci, amarah, kesedihan, sudah cukup aku melewatinya.

--

--

Mera
Mera

Written by Mera

Sedikit ruang untuk berbicara.

No responses yet