Fatamorgana; 1995.

Mera
3 min readDec 22, 2022

Terdampar bagai ikan curian, itu mungkin yang bisa menggambarkan bagaimana seorang remaja delapan belas tahun yang kini sedang diam terbungkam di dalam kotak penyimpanan barang. Matanya menatap awas pada setiap sudut di balik celah, semua pergerakan tak luput dari penglihatan tajamnya, remaja itu terus menggerakkan bibirnya, entah rapalan doa atau sekadar ucapan acak yang ia lontarkan pelan.

Telinganya berdenging, tak biasa mendengar dentuman kencang disertai sorak-sorai sebuah perayaan. Bau sigaret menyeruak, disertai dengan pria buncit, berkepala plontos yang sedang berlalu lalang.

Di balik celah kotak, ia mengatupkan bibirnya, menatap sangsi pada pria dewasa dan dua pria berjas lainnya yang sedang berdiskusi, entah apa yang ketiga pria dewasa itu katakan, ia tidak tahu pasti, yang ia yakini adalah dua diantaranya adalah pria berdarah Asia dan si pria berkepala plontos itu berasal dari Amerika.

Berjam-jam ia terduduk dengan ikatan tali di lengan dan di kakinya, jangan lupakan lehernya yang masih dijerat dengan lilitan tali, yang jika tidak dilepas segera, ia rasa mungkin tak akan mampu lagi meraup udara.

Entah apa yang mendasari kisahnya, hingga ia bisa sampai di tempat antah-berantah, dengan dikelilingi orang-orang asing bermata tajam dengan tubuh tinggi tegap dan bau tengik, jangan lupakan perlakuan yang sudah dua hari ini ia dapatkan dari beberapa orang yang mengurungnya di balik kurungan kotak sempit yang besarnya tidak lebih dari besar tubuhnya.

“Hey bocah!” Kegiatan melamunnya diinterupsi salah satu dari dua pria Asia yang tadi sedang mengobrol dengan pria berkepala plontos.

Remaja yang kini mendongakkan kepalanya hanya menatap malas saat kotak itu dibuka. Matanya yang sudah mulai menghitam ditambah rambutnya rontok hingga terlihat kulit kepalanya yang dipenuhi bekas luka akibat benturan.

“Lemah sekali sialan,” sarkas pria Asia itu disertai tamparan kencang hingga membuat pelipis remaja itu memerah. Ingin sekali memaki, tapi ia hanya bisa melakukan itu dalam hati, keparat sialan tidak tahu diri. Bagaimana tidak lemah jika dalam kurun waktu dua hari dikurung di dalam kotak sempit dan hanya diberi asupan air hujan dan ikan mentah, masih beruntung ia tidak mati.

“Pindahkan kotak ini, keberadaannya hanya mengganggu pemandangan saja. Lusa kita akan menjualnya, kita ditipu ratusan dollar hanya untuk mendapatkan imbalan remaja lemah sepertinya, cari orang yang membawanya kemari, akan ku patahkan lehernya.” Kemudian setelah itu gelap kembali, hanya ada cahaya masuk dari celah kotak, disertai suara derap langkah dengan decitan karek sepatu dan lantai kapal. Kepalanya pening bukan main, aroma amis menginvasi indera penciumannya. Lembab, dingin, dan hening, berbeda jauh dari sebelumnya.

“Sampai jumpa lusa, jika kau tidak mati membeku di sini,” gelagar tawa menggema memenuhi ruang hampa, saling bersahutan dan terlihat palsu.

“Lebih baik aku mati, sialan. Daripada harus bertemu denganmu lagi,” itu adalah ucapan pertama kali yang ia lontarkan, tentunya dengan nada oktaf yang rendah dan parau.

Rasanya lebih baik, walaupun tetap, oksigen yang masuk tidak cukup untu ia bisa menghirup udara luar. Suara gaduh mulai timbul, kepalanya ia bentur-benturkan pada tutup kotak, darah segar mulai mengucur, mengalir pada dahi hingga leher disertai keringat dingin.

--

--

Mera
Mera

Written by Mera

Sedikit ruang untuk berbicara.

No responses yet