(E) isa.

Mera
3 min readNov 26, 2022

Pameran lukisan yang kudatangi terlihat sepi, terlihat seperti tidak ada yang minat berkunjung sama sekali. Dua-tiga orang penasaran, kemudian tak lama mereka kembali pulang.

Sepulang kerja, penat menggerogoti tubuh, tenaga hampir habis tak tersisa, tapi kusempatkan sebentar berkunjung ke sebuah museum, yang baru resmi dibuka.

Aku berjalan, mengagumi sambil menebak-nebak arti. Aku tidak begitu pandai dalam menilai, hanya sekadar suka dengan lukisan, ditambah karena mungkin aku memiliki beberapa teman seniman, sehingga hal tersebut cukup membuatku memiliki ketertarikkan dengan seni lukis melukis.

Langkahku kini berhenti tepat di salah-satu lukisan besar, mungkin itu adalah objek utama, dipajang bak sebuah pusaka diantara lukisan lain yang memujanya.

Sungguh rumit, sampai-sampai aku mulai menyerah untuk menerka-nerka apa maknanya.

Di tengah lamunanku, seseorang menepuk pundakku pelan. Aku menoleh, sembari tersenyum dengan mimik wajah bertanya ada apa?

“Kamu sedang memikirkan artinya?” orang itu bertanya, dengan matanya yang masih tak lepas melihat lukisan penuh tanya di depan kami berdua.

“Ya, pelukisnya begitu luar biasa,” jawabku, karena memang begitu nyatanya.

“Benarkah? Aku mengenalnya begitu dekat. Dia pasti akan tersenyum lebar, jika mendengar pujian darimu,” jawabnya antusias.

“Ah, benarkah? Apa dia juga sedang ada di sini?” aku sedikit penasaran, mungkin dengan menanyakan artinya langsung pada sang pelukis, aku tak perlu repot-repot memikirkan artinya, sampai-sampai mungkin aku tidak bisa tidur nantinya.

“Sayangnya, tidak. Aku yang membawa lukisan ini kesini untuk dipamerkan. Sang pelukis meninggal beberapa bulan lalu, ini lukisan terakhir, dan ini pun belum rampung dibuatnya,” entah kenapa, hatiku terasa patah saat mendengar penuturan dari seseorang yang katanya begitu kenal dekat dengan sang pelukis.

“Boleh aku tau nama sang pelukis?”

“Xu Minghao, Eisa. Dia selalu ingin dipanggil Eisa. Dia mengalami kecelakaan lima bulan lalu, mungkin Tuhan lebih sayang padanya.”

“Dia itu indah, boleh aku tau namamu? Jika tertarik mungkin aku bisa berbagi sedikit kisahnya denganmu.”

“Aku Mingyu, Kim Mingyu.”

“Baiklah, Mingyu. Aku Junhui, teman dekat Eisa. Mari kuantar pada ruangannya.”

Aku dibawa berjalan, melewati lorong, dihiasi lampu-lampu gantung, dengan dinding putih gading yang diisi berbagai lukisan dengan pigura begitu besar.

Hingga kami berhenti tepat di pintu cokelat yang menjulang tinggi. Laki-laki bernama Junhui itu membuka pintunya, mataku langsung disuguhi pemandangan yang sanggup membuatku menganga tidak percaya, sentuhan klasik yang mewah, dengan lemari-lemari buku yang menjulang tinggi, lukisan-lukisan berada di ruangan yang berbeda, dan satu meja yang berantakan, terlihat cat-cat berhamburan.

Aku dapat merasakannya, melihat tangan lihai sang pelukis bermain di atas kanvasnya. Diiringi musik dari piringan hitam yang terpajang tak jauh dari sana.

Begitu luar biasanya dia.

“Indah bukan? Kamu hanya melihat sedikit bagian darinya. Aku yakin, jika kamu melihatnya langsung, kamu akan merasakan langsung keindahan Eisa. Dengan palet cat, dan rambut biru terangnya, melukis, diiringi lagu dari piringan hitam. Dia begitu teduh, perawakannya yang menenangkan, suaranya yang lembut. Ah, aku jadi sedikit merindukannya.”

Mataku menyayu, hatiku seperti dipaksa merasakan sakitnya kehilangan sesuatu yang indah. Indah paras juga larasnya.

“Maaf,” ucapku, sungguh tak ada ucapan lain yang bisa kuucapkan selain permintaan maaf, aku tak tau harus bereaksi seperti apa, mungkin kehilangan seseorang lukanya membekas, disimpan direlung.

“Tidak pa’pa. Ruangan ini Eisa putuskan dibuka untuk umum, untuk siapapun yang mungkin tertarik dengan karya-karya miliknya, dan pula—untuk mengenang perjalanannya.”

Classy nan artsy, begitu rupawannya, indah tiada tanding. Semoga tenang raganya yang sudah tidak bernyawa, seniman sepertinya akan selalu indah dikenang.

1391472521.”

--

--

Mera
Mera

Written by Mera

Sedikit ruang untuk berbicara.

No responses yet