Aku yang menjauh, atau keberadaanku yang tidak pernah dianggap ada.
Asing.
Setiap hari yang kulihat adalah keadaan yang kian kini kian asing, aku tidak sendiri, tapi nyatanya aku selalu teredam sepi.
Aku selalu ditinggalkan, tidak pernah dilihat dan kerap diabaikan. Setiap hari ku anggap angin lalu, ku kira, mungkin cerita esok hari bisa lebih berarti, namun yang ku rasakan tetap hampa, hilang warna, hilang rasa.
Kadang aku pun ingin mengakhiri segalanya, ingin rasa hampa ini ku hilangkan saja, namun apa daya, aku punya mimpi, aku masih harus tidur untuk bangun diesok hari.
Aku sendiri pun tak mengerti, apa yang harus aku ekspresikan, apa yang harus aku rasakan, aku pun tidak tahu bagaimana cara menyampaikan.
Karena setiap hari ku dirundung api, tapi hatiku tak pernah mau ikut terbakar.
Aku kerap disamakan dengan masa lalu yang menyakitkan, katanya bawaan dan berian. Demi Tuhan, aku bahkan tidak pernah tahu masa lalu ku, masa lalu dia yang katanya sama persis sepertiku.
Sakit, aku pun tidak pernah meminta menjadi seperti ini, aku pun tidak pernah menginginkan menjadi seseorang yang tidak pernah diharapkan keberadaannya.
Aku selalu dibelakang, selalu menjadi tontonan menyedihkan, melihat mereka tertawa layaknya keluarga, tanpa aku, tanpa pengganggu.
Tak apa, aku masih akan jadi topangan untuk empat pilar. Tak apa, aku akan tetap berusaha jadi seseorang yang mereka pinta dan harap. Tak apa, untuk tidak baik-baik saja.
Tak apa, aku masih sanggup menanggung untuk saat ini, aku masih sanggup berjalan untuk melanjutkan mimpi, aku masih sanggup menaungi diri, aku tidak akan menyerah disini.
Mungkin aku yang perlahan menjauh, memberi ruang yang kian kini kian merenggang, tak apa. Aku sudah banyak kehilangan, setidaknya aku masih punya segenggam harapan yang kalian tuang sebagai permintaan.
Terimakasih untuk membuat ku tetap ada.
— Mera, 2022.